Google, Facebook, dan Twitter digugat oleh pihak keluarga seorang mahasiswa yang menjadi korban serangan teroris di Paris November 2015 lalu.
Menurut mereka, media sosial yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan itu menyediakan dukungan materi terhadap grup militan Islamic State of Iraq and Syria atau yang lebih dikenal dengan ISIS, demikian dikutip dari Reuters, Jumat (17/6/2016).
Keluarga Nohemi Gonzalez -- nama korban -- mendaftarkan gugatan tersebut di pengadilan federal San Francisco, Amerika Serikat. Dalam gugatannya itu mereka memnita pengadilan untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang melanggar UU Anti Terorisme AS.
Selain itu mereka juga meminta uang ganti rugi akibat karena kehilangan anggota keluarganya itu. Pengadilan juga yang nantinya akan menerapkan besaran uang ganti rugi tersebut.
"Selama bertahun-tahun, tergugat telah diketahui mengizinkan grup teroris ISIS untuk menggunakan jejaring sosial sebagai alat untuk menyebarkan propaganda ekstrimis, menggalang dana dan menarik anggota baru," demikian yang tertulis dalam gugatan tersebut.
Dalam gugatan itu disebut dukungan material terhadap grup teroris tersebut membolehkan mereka untuk mendanai dan melakukan sejumlah serangan teror, termasuk serangan di Paris pada akhir November 2015 lalu yang menewaskan 130 orang, termasuk Gonzalez, seorang mahasiswa California State University yang sedang menuntut ilmu di negara itu.
Google menolak untuk mengomentari gugatan ini, namun dalam pernyataannya mereka menegaskan kalau mempunyai kebijakan tersendiri untuk melarang aktivitas perekrutan teroris.
"Kami punya kebijakan yang jelas untuk melarang perekrutan teroris dan konten yang terkait dengan kekerasan dan kami akan menghapus video yang melanggar kebijakan ini secepatnya setelah ditandai oleh pengguna," tulis Google dalam pernyataannya.
Sementara Facebook dalam pernyataannya menyebut kalau tak ada tempat bagi teroris atau konten yang mempromosikan atau mendukung terorisme di Facebook, dan mengaku sudah bekerja keras untuk menghapus konten secepatnya setelah terdeteksi.
Menurut mereka, media sosial yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan itu menyediakan dukungan materi terhadap grup militan Islamic State of Iraq and Syria atau yang lebih dikenal dengan ISIS, demikian dikutip dari Reuters, Jumat (17/6/2016).
Keluarga Nohemi Gonzalez -- nama korban -- mendaftarkan gugatan tersebut di pengadilan federal San Francisco, Amerika Serikat. Dalam gugatannya itu mereka memnita pengadilan untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang melanggar UU Anti Terorisme AS.
Selain itu mereka juga meminta uang ganti rugi akibat karena kehilangan anggota keluarganya itu. Pengadilan juga yang nantinya akan menerapkan besaran uang ganti rugi tersebut.
"Selama bertahun-tahun, tergugat telah diketahui mengizinkan grup teroris ISIS untuk menggunakan jejaring sosial sebagai alat untuk menyebarkan propaganda ekstrimis, menggalang dana dan menarik anggota baru," demikian yang tertulis dalam gugatan tersebut.
Dalam gugatan itu disebut dukungan material terhadap grup teroris tersebut membolehkan mereka untuk mendanai dan melakukan sejumlah serangan teror, termasuk serangan di Paris pada akhir November 2015 lalu yang menewaskan 130 orang, termasuk Gonzalez, seorang mahasiswa California State University yang sedang menuntut ilmu di negara itu.
Google menolak untuk mengomentari gugatan ini, namun dalam pernyataannya mereka menegaskan kalau mempunyai kebijakan tersendiri untuk melarang aktivitas perekrutan teroris.
"Kami punya kebijakan yang jelas untuk melarang perekrutan teroris dan konten yang terkait dengan kekerasan dan kami akan menghapus video yang melanggar kebijakan ini secepatnya setelah ditandai oleh pengguna," tulis Google dalam pernyataannya.
Sementara Facebook dalam pernyataannya menyebut kalau tak ada tempat bagi teroris atau konten yang mempromosikan atau mendukung terorisme di Facebook, dan mengaku sudah bekerja keras untuk menghapus konten secepatnya setelah terdeteksi.